Serigala itu Bernama Tanggung Jawab
Gue salut sama
orang yang bisa kabur tanpa merasa berdosa dari yang namanya tanggung jawab. Bagaimana
bisa dia terus berlari, singgah dari
satu tempat ke tempat yang lain dengan perasaan tenang, padahal tanggungan yang
dia tinggalkan cepat atau lambat akan datang menghampiri dan meledak bagai bom
waktu yang bisa merugikan dirinya sendiri, bahkan orang lain.
Semua
dari kita pasti pernah mengalami saat-saat tugas kelompok di sekolah atau di
kampus dapat teman kelompok yang sangat kampret yang maunya enak sendiri. Di
saat satu kelompok pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan dan menyusun
presentasi, dia dengan perasaan riang gembira malah pergi main PS dan tidak
membantu sedikit pun. Giliran dimintai uang untuk print presentasi, dia justru
berkilah nggak punya uang. Huft dasar aku.
Hampir
nggak ada yang mau satu kelompok dengan gue selama tiga tahun kuliah. Setiap
pembagian kelompok, kelompok yang gue masuki selalu menjerit histeris sambil
meminta ampun kepada sang pencipta. Sebaliknya, kelompok yang terbebas dari gue
melakukan selebrasi sujud syukur seraya memerdekakan hamba sahaya. Kehadiran
gue memang memberikan mudhorot dan manfaat secara bersamaan.
Pikir
gue saat itu selagi masih bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh orang lain,
kenapa nggak? Toh kalaupun gue membantu sepertinya malah membuat tugas makin
berantakan. Gue pun lumayan sering disindir oleh teman kelompok gue dengan
kalimat sindiran yang cukup pedas, sampai pada akhirnya gue melunak dan beberapa kali menemani mereka
ketika mengerjakan tugas. Tapi benar saja kehadiran gue sama sekali tidak
membantu, yang bisa gue lakukan hanya menonton mereka, menggenggam handphone
sambil membuat boomerang di instagram story, seolah pencitraan.
Gue
sadar sikap gue ini memang sangat buruk. Siapa coba yang senang dengan orang
seperti itu? Sampai pada akhirnya roda kehidupan berputar, gue mengalami nasib
yang naas. Menjelang akhir perkuliahan, gue mendapatkan teman kelompok yang
semuanya persis memiliki sifat serupa seperti gue. Empat orang laki-laki
pemalas dari kelas gue disatukan untuk mempresentasikan materi terakhir untuk
salah satu mata kuliah wajib jurusan. Kalau tidak salah mata kuliah Ilmu Nahwu
4. Entah siapa yang mengatur kelompok
ini, yang jelas semua anggota kelas sujud syukur kecuali kami berempat.
Kami
berempat saling tunjuk siapa yang pegang kendali.
“lu yang atur
ya”
“dih apaan
kagak, dia aja!”
“lah jangan gue,
gue kagak bisa, udah lu aja”
“jangan gue,
minggu depan nenek gue mau masuk ugd”
Begitu terus
sampai pada akhirnya gue terpaksa mengatakan iya untuk menjadi koordinator
kelompok. Gue pun mencoba untuk membagikan tugas walaupun dalam hati gue sudah
pesimis duluan mereka akan mengerjakan.
Tiga hari
berlalu tetapi teman kelompok gue masih terlihat nyantai, dalam hati gue
mencoba berpikir positif mungkin sudah dikerjakan di rumah. Keesokkan harinya
gue bertanya kepada salah satu teman gue, Acep. “Cep, gimana udah kelar?”
sambil menghisap sebatang rokok dia menjawab “aman, santai” jawaban yang
seharusnya bisa melegakan tetapi justru membuat gue semakin khawatir. Sorenya
Idhar dan Alfay teman gue yang lain sudah menyetorkan tugasnya dan tinggal gue
rekap dan menunggu bagian inti milik Acep.
Sehari menjelang
presentasi, Acep nggak masuk kuliah. Gue panik. Nggak ada informasi sedikit
pun, gue sms gue whatsapp sampai gue telfon sama sekali nggak ada jawaban. Gue
curiga dia sakit, sepulang sekolah akhirnya gue pergi ke kosannya. Tapi
hasilnya nihil, kosannya terkunci rapat, hening sunyi. Tetangga kosannya nggak
ada yang tahu Acep pergi kemana. Dasar kampret.
Karena putus asa
mencari keberadaan Acep, gue pun bergegas ke perpustakaan untuk mengerjakan
tugas bagiannya agar besok tetap bisa presentasi. Dengan kekuatan super kilat
akhirnya tugas selesai dalam kurun waktu dua jam saja.
Hari presentasi
tiba, gue sudah di kampus sedari pagi dengan makalah berjilid biru putih di
tangan. Satu persatu teman-teman kelas gue pun tiba, tapi tidak teman kelompok
gue. Anjir, padahal presentasi dimulai 15 menit lagi. Gue mulai panik, gue
telfon nggak ada yang angkat. Gue stress abis, persis ketika dosen keluar
ruangan jurusan dan berjalan masuk kelas, Alfay menelfon gue dan mengatakan dia
baru bangun tidur, dia lupa kalau hari ini ada presentasi. Bangcadh.
Setiap langkah
dosen seakan bom waktu yang akan meledak di depan muka gue. Gue nggak bisa
membayangkan kejadian apa yang lebih sial yang akan terjadi setelah ini. Dosen
pun masuk dengan raut muka bingung, mungkin dia bertanya-tanya mengapa gue
hanya sendiri. Ketika beliau duduk dan membuka kelas, ada adik kelas datang
membawa secarik surat yang berisi bahwa Idhar izin keluar kota karena ada acara
keluarga. Bisa dibayangkan apa cacian yang mungkin gue teriakkan tapi tertahan
karena kehadiran dosen.
Akhirnya dosen
pun mempersilakan gue untuk presentasi seorang diri, ya seorang diri. Sepuluh
menit menjelang usai sesi tanya jawab, Alfay baru datang dan duduk seolah tidak
punya dosa. Sedangkan Acep, entah kemana dan tidak muncul selama satu bulan
perkuliahan. Konon dia direkrut menjadi volunteer di salah satu kegiatan
seniornya di Suriah. Mungkin jadi anggota ISIS.
Dari kejadian
ini gue secara tidak langsung melatih gue menjadi orang yang bertanggung jawab. Gue sebetulnya bisa saja
kabur dan meninggalkan kelas lebih awal tetapi gue memilih untuk menyelesaikan
hari yang berat itu walaupun rasa jengkel sepanjang presentasi terlihat jelas
dari raut wajah gue.
Untuk orang yang
terbiasa menyepelekan tanggung jawab, gue memang harus banyak latihan semacam ini.
Bukan berarti dapet kelompok yang amsyong terus lho ya, tapi tekanan serupa
yang membuat gue bisa melewati masalah dengan baik bukan lari dari masalah. Gue
pun mencoba aktif di berbagai organisasi kampus yang gue rasa adalah sarana
yang cukup tepat.
Benar saja,
menjadi aktivis kampus membuat gue cukup terbiasa dikejar deadline. Apalagi
ketika proker-proker masih banyak yang belum terlaksana. Menyusun kepanitiaan,
merancang konsep acara, membuat proposal, mengirim undangan acara, harus
dikerjakan sesuai dengan timeline yang tersedia. Belum lagi jika banyak
kesalahan terjadi, siap-siap saja harus menerima dengan sabar omelan dari
senior.
“Fidi, proposal
udah sampe mana?”
“Iya bang, baru
mau gue garap”
“Buset?! Baru
digarap? Dari kemaren lu ngapain aja? Kan udah tau acara tinggal bulan depan!”
“Iya bang sorry,
ini gue kerjain”
“Kagak usah, gak
ada gunanya lu”
“yah bang yaudah
iya sorry”
“Beneran kagak
dikerjain?!”
“Kata lu,
gausah?”
“KERJAIN
SEKARANG!!!”
Senior
kampus itu ibarat raja, harus dipatuhi sesulit apapun. Makanya harus banyak
bersabar, untung aja senior gue di atas itu cowok, nggak kebayang kalo cewek,
dan lagi pms, kayaknya sebelum proposal jadi muka gue udah ada di cover buku
yasin.
Tapi
nggak selamanya senior itu kejam, kadang lewat tangan mereka juga kita sering
proyekan-proyekan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Mulai dari proyekan
bikin seminar, kaos kampanye, pensi, sampai jadi petugas quick count pemilu
semuanya udah pernah gue cobain. Ya
hasilnya cukup lumayan buat ngajakin cewe orang jalan.
Kerja-kerja
proyek memang godaan berat buat gue selaku mahasiswa rantau. Siapa yang mau
nolak dalam satu hari sampai satu minggu kerja, penghasilan bisa nambah sampai
satu juta. Kenapa gue bilang godaan, tentu aja karena perkuliahan yang sering
jadi korban. Logika sederhananya, daripada pilih duduk di kelas dengerin dosen
ngoceh, mendingan nyari duit, bener nggak? Di saat itu lah idealisme gue
sebagai mahasiswa terguncang.
Nggak
sedikit lho mahasiswa yang memiliki godaan serupa, bahkan temen gue ada yang
sampai meninggalkan kuliah dua semester dan memilih menjadi pemain
proyek-proyek senior. Apa dia salah? Tentu nggak, selagi dia sering jajanin
teman-temannya hahaha
Sedangkan
gue memilih untuk melanjutkan perkuliahan gue secara normal dan menyudahi
tawaran kerjaan dari senior. Karena itu gue bisa menyelesaikan semua mata
kuliah tepat waktu hingga tujuh semester. Dan semester delapan adalah semester
yang ditujukan untuk praktik mengajar (karena gue ambil jurusan keguruan) juga
mengerjakan skripsi.
Empat
bulan melelahkan gue jalani untuk praktik mengajar di salah satu sekolah yang
cukup ternama. Setiap hari harus bangun pagi, mengajar hingga waktu ashar tiba.
Boleh dibilang saat-saat praktik mengajar adalah ujian terbesar gue dalam
menjalani status sebagai mahasiswa. Setiap hari juga harus menghadapi
murid-murid yang luar biasa ngeselin. Pernah suatu ketika bel tanda pergantian
jam berbunyi, gue sudah bersiap untuk masuk kelas. Ketika gue membuka pintu,
tiba-tiba teriakan murid mulai bising di telinga “BARU JUGA BEL PAK!” “RAJIN
AMAT SIH PAK” “BURU-BURU AMAT SIH PAK? KEJAR SETORAN YA KAYAK SUPIR ANGKOT AJA”.
Dengan pernuh kesabaran gue hanya bisa tersenyum dongkol.
Singkat
cerita praktik mengajar selesai, dan fokus gue hanya tinggal mengerjakan
skripsi. Beberapa minggu setelahnya gue ditelfon senior sebut saja namanya Adi
untuk datang ke salah satu mall di daerah Bintaro. Inti pertemuan itu adalah
gue diminta untuk membantunya mengerjakan proyek salah satu kementerian
sepanjang bulan Ramadhan. Pekerjaannya nggak menyita waktu, hanya berlangsung
satu bulan, dan bayarannya lumayan oke, tanpa pikir panjang gue pun mengiyakan tawaran
tersebut. Acara berhasil diselenggarakan di beberapa titik, bang Adi pun
terlihat cukup puas dengan kinerja gue selama acara. Seperti kebanyakan acara
penutupan pada biasanya, pasti ada semacam selebrasi atau tasyakuran, karena
waktu itu bertepatan di bulan Ramadhan, otomatis tasyakurannya berupa acara
bukber di salah satu restoran mewah. Waktu masih menandakan pukul setengah enam
sore saat itu, 20 menit lagi menjelang waktu berbuka, bang Adi memanggil gue
untuk jalan-jalan sebentar mengobrol sambil menunggu adzan magrib.
“Fid, lu beres
kuliah kapan”
“ Iya bang gue
baru kelar Praktik ngajar”
“Lu mau jadi
guru ntar kelar kuliah?”
“Nggak mau sih
bang hehe”
“Emang cita-cita
lu apa?”
“Gue pengen jadi
penulis bang”
“Emang lu suka
nulis?”
“Suka bikin blog
sih bang”
“Oh kayak
Raditya Dika, ya?”
“Iya bang”
Tepat seminggu sebelum lebaran,
akhirnya gue pun direkrut sebagai penulis di agency tempat bang Adi bekerja.
Tanpa bawa surat lamaran kerja, tanpa seleksi, murni karena kepercayaan dan
kekeluargaan. Begitu gue resmi menjadi seorang pekerja kantoran, gue pun
menyadari bahwa skripsi akan gue nomor duakan.
Sebetulnya
bang Adi sempat membuat perjanjian, walaupun gue bekerja skripsi harus tetap
dikerjakan. Gue saat itu mengiyakan dengan tatapan meyakinkan walaupun gue
belum tahu gimana caranya, karena gue tahu skripsi gue amat sangat susah.
Mungkin yang terlewat yang belum gue ceritakan adalah, skripsi gue menggunakan
bahasa Arab. Karena gue kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab, mengerjakan
skripsi pun harus full berbahasa Arab tanpa huruf latin sedikit pun. Bisa
dibayangkan bagaimana tanggungan gue yang begitu memusingkan. Tanpa disambi
dengan bekerja pun skripsi gue mungkin tersendat-sendat, apalagi harus disambi
dengan pekerjaan pastilah akan terbengkalai.
Seminggu
pertama bekerja gue gunakan sebagai adaptasi dengan lingkungan dan teman-teman
baru. Semuanya terlihat asyik-asyik pada mulanya termasuk sosok Mas Hendrik
selaku koordinator tim. Tulisan-tulisan awal gue berhasil mendapatkan predikat
“lumayan bagus” untuk beliau, karena menurut teman-teman tim, Mas Hendrik
orangnya sangat perfeksionis dan detail terhadap pekerjaan. Di waktu senggang
pun gue masih bisa mencuri waktu untuk mencoba mencicil bab satu sedikit demi
sedikit. Di sinilah gue pun merasa nyaman bekerja di tim ini.
Namun
semuanya seketika berubah di minggu kedua, Mas Hendrik yang kemarin bersifat
ramah dan menyenangkan kini berubah menjadi sosok diktator kejam yang galaknya
bukan main. Tulisan gue disampah-sampahin. Hampir seluruh pekerjaan gue salah
di matanya. Jangankan mencuri waktu untuk mengerjakan skripsi, mengecek
handphone pun gue merasa diawasi. Gue nggak tahu apa yang terjadi, karena nggak
mungkin bapak-bapak ini sedang PMS, bukan? Gue pun akhirnya diberitahu oleh
salah satu rekan, bahwa Mas Hendrik memang tipikal aslinya sangat moody. Dia
bisa berubah sikap persekian detik karena mood yang dia alami.
Gue
sempat berpikir, “kok bisa ada ya orang yang random begitu di dunia ini” sampai
pada akhirnya gue teringat kepada dosen pembimbing gue sendiri, Pak Ubib.
Tipikalnya 99% mirip banget sama bos gue di kantor. Galaknya, perfeksionisnya,
moody-nya, gue hampir curiga jangan-jangan sebetulnya mereka adalah seorang
yang sama. Rasanya pengen gue tarik muka salah satunya siapa tahu benar ada
yang menggunakan topeng, hmm.
Setiap
gue berangkat ke kampus untuk bimbingan pasti gugupnya setengah mampus. Gue
paham banget, bimbingan sama beliau tuh ada periode waktu tertentu. Nggak boleh
kepagian, karena pasti dia masih seger untuk mencorat-coret habis skripsi gue.
Nggak boleh kesorean karena dia pasti terlalu capek untuk mengoreksi skripsi,
ujung-ujungnya pasti minta untuk ditinggalkan di atas meja beliau dan nggak
diperiksa-periksa sampai kapan pun. Waktu yang tepat memang di siang hari, tapi
persoalannya dia selalu ada jadwal ngajar.
Stress nggak sih?
Beberapa
kali akhirnya gue nekat untuk bimbingan di pagi hari, dan betul saja selain
coretan tinta merah yang mengotori skripsi, omongan yang terlontar dari mulut
beliau pun cukup menyakiti hati. Bayangkan baru dua kali gue bimbingan, beliau
sudah menyatakan “Aduh, skripsi sodara ini salah semua, nggak ada peningkatan
dari bimbingan pertama, masa harus saya yang perbaiki? Kalo begini caranya saya
sudahi saja bimbing sodara” coi! Dia nyerah bimbing gue, anjir. Setahu gue
sepanjang cerita mahasiswa yang dibimbing beliau, mahasiswanya yang nyerah lha
kok ini malah pak Ubib. Apakah saya sebodoh itu, Pak? L
Hidup
gue seperti dikepung di antara dua serigala kelaparan yang siap mencabik-cabik
mangsanya. Sedangkan keduanya adalah tanggung jawab yang mesti gue selesaikan. Rasanya
gue memang harus memilih salah satunya, karena secara teori mana pun seorang
Fidi nggak mungkin bisa menyelesaikannya seorang diri. Gue dilema, mau ninggalin
kerjaan yang baru sebulan tapi gue butuh penghasilan, mau benar-benar
meninggalkan skripsi tapi nyokap nanyain terus kapan lulus. Semuanya nyaris
membuat gue gila.
Gue
teringat lagi nasihat lama bang Adi, “Jangan nyalahin kerjaan kalau skripsi lu
terbengkalai, lu harus bisa atur waktu, lu bangun tidur, pulang kerja masih
bisa santai kan? Kenapa lu gak pake buat skripsian? Jangan ngeluh, gue juga
pernah di posisi lu dan buktinya gue lulus kan?” Omongannya gue yakini seratus
persen benar, tapi dalam praktik gue tahu itu mungkin hanya sebuah omong kosong
buat orang kayak gue. Tapi gue harus coba, gue nggak bakalan progress kalo gue
cuman bisa mikir tanpa dikerjain.
Sejak
itu gue merubah pola kehidupan gue, mencoba sesuai yang diajarkan bang Adi. Bangun
tidur hal yang paling pertama gue kerjakan adalah membuka laptop dan
mengerjakan skripsi walaupun hanya satu jam. Dalam waktu satu jam gue bisa
mengetik skripsi satu sampai satu setengah paragraf, lumayan lah ya… hehehe
setelahnya gue tinggalin skripsi gue dan menjalani hari dengan bekerja sampai
magrib menjelang isya. Setibanya di kosan biasanya jam 8 malam atau 9 malam
paling telat. Rebahan sebentar, gue kembali membuka laptop dan melanjutkan
skripsi gue dalam durasi yang gue patok maksimal 45 menit aja. Begitu terus
pola hidup gue dalam beberapa bulan menjelang akhir tahun 2018. Ya benar hanya
beberapa bulan, karena hidup gue kembali mengalami perubahan di awal tahun 2019.
Di
awal tahun gue dipercaya untuk menjadi koordinator tim kampanye pemenangan
calon ketua Dema Universitas dalam kegiatan Pemilu Raya Mahasiswa di kampus
oleh rekan-rekan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) atau organisasi
eksternal yang gue ikuti sejak semester satu kuliah. Gue tahu seharusnya gue
nggak mesti mengambil tanggung jawab ini, toh tanggung jawab gue yang lain pun
belum terselesaikan. Tetapi kenyataannya gue tetap mengambil. Gue nggak bisa
nolak, dan nggak bisa mundur buat organisasi gue yang satu ini. Bisa dibilang
gue lagi cinta-cintanya. Terlebih, dalam tim pemenangan ini seluruh anggotanya
adalah dua puluh kader-kader pilihan PMII UIN Jakarta yang satu angkatan dengan
gue, ada perasaan excited yang muncul ketika diamanahi tanggung jawab tersebut.
Sayangnya
di tengah jalan satu persatu anggota tim mulai berguguran, menyisakan enam
serigala terakhir yang terbagi dalam divisi tugas yang berbeda-beda. Gue sadar,
dengan situasi yang kayak begini rasanya mundur adalah pilihan terbaik. Tapi
salah satu teman gue, Ecy bilang “Fidi lu boleh kesel sama situasi ini, gue pun
kesel, tapi apa lu tega ninggalin kita berlima?” gue tersentak. Ini bukan hanya
soal tanggung jawab yang gue ambil, ini soal solidaritas tim yang merasakan
pahit manis yang sama, masa iya gue lari dari itu semua?
Gue
paksakan untuk terus bertahan dililit oleh tiga tanggung jawab besar yang
menyita waktu, pikiran dan tenaga gue. Gue mesti harus tetep bekerja untuk
mencari penghasilan, gue harus tetep mengerjakan skripsi buat nyokap gue, dan
gue harus setidaknya menjalankan tugas gue sebagai tim pemenangan walaupun
hasilnya kalah sekalipun.
Kehidupan
gue semakin gila, bangun tidur gue skripsian, kemudian berangkat ke kampus
untuk bimbingan, dilanjutkan menuju kantor untuk kerja, pulang kerja langsung
meluncur rapat dengan tim pemenangan hingga sepertiga malam, sampai pulang ke
kosan istirahat, kemudian bangun dan skripsian lagi, begitu terus dalam waktu
dua bulan. Hikmah yang bisa gue ambil dari apa yang gue alami adalah lemak
membandel dalam tubuh ini perlahan menyusut. Makanya kalau ada yang bilang “Fidi,
sekarang kurusan ya pipinya udah tirus, resepnya apa?” gue bisa jawab “resepnya
dililit tanggung jawab”.
Pernyataan
klise yang sering kita dengar “Hasil tidak akan pernah mengkhianati proses” memang
sungguh betul adanya. Selama kurang lebih satu tahun bekerja, alhamdulillah
bisa gue tuntaskan dengan cukup baik. Kehidupan tercukupi bahkan gue sekarang
punya tabungan yang bisa gue pakai di kemudian hari. Hasil pemilu raya kampus
juga cukup memuaskan dengan berhasil memenangkan PMII di delapan fakultas di
UIN Jakarta walaupun di tingkat universitas masih kalah dari kelompok lawan.
Dan yang tak kalah penting, tanggal 4 April lalu gue pun sidang skripsi, menyelesaikan
studi gue dan menyandang gelar sarjana.
Segala yang
terjadi oleh gue hari ini gue syukuri karena keterlibatan semua orang yang
singgah di kehidupan gue. Bagaimana mereka membantu dan membuat gue menjadi
orang yang setidaknya sadar bahwa sesungguhnya tanggung jawab itu tidaklah
dilahirkan, tetapi dibiasakan.
Fighting!!! Blog nya menarik ^_^
ReplyDeleteMantap fid 👍👍
ReplyDeleteKeren ka, realited bnget alur storynya.
ReplyDelete