Stay Strong, Yello!
“Heuuu heuuuu heuuuu” Suara semacam anak kecil nangis terus bising di kuping gue, nggak berhenti-berhenti. Padahal udah jam setengah satu pagi. Gue yang merasa terganggu sekaligus paranoid akhirnya memutuskan buat keluar kamar yang berada di lantai dua rumah gue. Sekilas gambaran, kamar gue emang terletak di lantai dua tapi terpisah dari bangunan utama. Jadi segala aktivitas gue di kamar nyaris nggak bisa diliat atau pun didenger sama keluarga gue yang berada di bangunan utama lantai satu. Baik, kembali ke cerita awal, setelah gue memutuskan keluar kamar, suara pun semakin bising yang entah dari mana sumbernya. Akhirnya gue memutuskan untuk berkeliling di area balkon lantai dua dan sekitaran tangga tapi hasilnya tetap nihil. Gue gatau suara apa barusan.
Semakin malam dan suasana semakin sepi tetapi suara tetap menyala, gue udah sempet mikir yang macem-macem, “Apa suara Kuntilanak?” Tapi masa bulan puasa kayak gini ada gituan, bulan-bulan biasa aja gue ga pernah denger, tapi kalo beneran serem juga. Daripada pikiran gue semakin melayang bebas, gue pun memutuskan untuk lekas tidur agar sahur nggak terlewat.
Setelah santap sahur gue nanya sama orang rumah, “Semalem denger suara kayak anak kecil nangis nggak, Bu, Yah?” keduanya menjawab nggak mendengar barang sedetik pun. Ayah gue pun lantas menyeletuk mungkin suara tadi adalah suara kucing liar yang matanya borok yang sering mampir di rumah gue. Gue pun segera mengamini agar pikiran gue lebih tenang. Seusai solat subuh biasanya gue ngelanjutin tidur seperti selayaknya ummat Rosul yang lain agar pahala puasa bertambah dan stamina tetap terjaga.
Sebangunnya gue kalo nggak salah sekitar jam 9 pagi, benar aja ada kucing liar bermata borok berwarna kuning yang nongkrong dengan chillnya di depan kamar gue. Sekedar informasi kucing ini memang lahir di depan rumah gue sejak dua tahun silam, dia lahir dengan satu sodaranya yang kini entah kemana, dan ibunya yang juga sudah menjanda. Sampai saat ini hanya kucing kuning ini aja yang masih sering mampir ke rumah mencari sisaan-sisaan makanan keluarga gue.
Keluarga gue bukanlah pecinta kucing yang sengaja memelihara kucing. Ibu dan adik gue justru geli kalo liat kucing kampung, bahkan suka emosi kalo liat mereka berak sembarangan di halaman rumah. Jadi sekiranya ada kucing yang mampir kita sekeluarga cuek-cuek aja. Tapi hati kecil kami juga terusik melihat kucing bermata borok yang satu ini. Kondisinya menyeramkan. Matanya hancur, dan area matanya sudah membengkak dan selalu meneteskan darah. Tak ayal lantai rumah gue pun selalu merah penuh oleh tetesan darahnya.
Kami berempat jadi nggak bisa lagi cuek dengan kondisi si kucing liar ini. Entah mengapa keluarga kami terutama gue dan bokap merasa berdosa membiarkan kucing ini merintih sekitan setiap harinya. Kami pun semakin yakin bahwa suara tangisan tengah malam itu berasal dari suaranya. Setelah diskusi sebentar akhirnya kami putuskan setelah lebaran nanti mau bawa kucing ini ke klinik hewan, tadinya mau langsung dibawa ke RS Pertamina tapi kejauhan.
Sayangnya rencana ini nggak semulus biasanya. Karena ini kucing kampung, alias kucing liar, alias kucing yang nggak jinak, jangankan membawanya, gue pegang pun dia lari. Nggak mau sama sekali disentuh. Padahal sentuhan gue pernah meluluhkan banyak wanita di luar sana, kok bisa-bisanya si kucing lari tanpa sopan santunnya. Gue mikir gimana caranya biar dia bisa gue bawa, dengan pertolongan nyokap sebagai ibu-ibu hitz di RT 08 dia pun meminjam keranjang kucing milik tetangga agar gue bisa membawanya lebih mudah. Selama dua hari gue melakukan pendekatan dengan si kucing, membelikannya makanan mewah yang mungkin jarang dia santap, ya Whiskas.
Bener aja, gue kasih makan Whiskas dia nggak mau. Dasar kucing kampung! Wkwkwk maunya ikan cue doang kali ye hmmm. Salah satu senior gue ngusulin Whiskas yang basah kalo kucing nggak doyan yang kering. Akhirnya gue beli lah yang basah, dan terbukti si kucing doyan. Tau suka yang basah, kenapa nggak gue rendem aja ya whiskas yang kering tadi, ntar juga basah yakan? J
Singkat cerita gue pun berhasil memancingnya masuk ke keranjang. Dia ngamuk-ngamuk. Kepalanya dibentur-benturin ke dinding keranjang. Matanya pun semakin berdarah. Tanpa lama-lama gue bawa kucing ini ke klinik yang berjarak sepuluh menit dari rumah. Setibanya di depan receptionist, gue pun mengisi form dan menceritakan persoalan si kucing.
Salah satu dokter bertanya kepada gue, “Mas, kucingnya Namanya siapa?”
“Maaf Dok, ini kucing liar bukan peliharaan saya, jadi nggak ada namanya” jawab gue.
“Hm begitu, gapapa kasih nama aja sekarang, Mas”
“Yaudah Dok tulis aja Namanya, Yello”.
Yello pun dibawa ke ruangan dokter. Begitu keranjang dibuka, Yello langsung lompat dan berusaha kabur sekuat tenaga. Dia panik, dia menjerit, darahnya menetes banyak di ruangan tersebut. Dokter pun cukup lumayan kaget melihat kucing ini. “wah panikan sekali kucingnya, Mas” ucap salah satu dokter. Gue yang melihat kejadian tadi mendadak lemas, gue kasihan dengan si Yello yang ketakutan dan menahan sakit, gue pun memutuskan untuk pulang dan segera kembali setelah solat jumat.
Jam setengah dua, panggilan masuk ke handphone gue ternyata dari klinik tersebut yang mengatakan kalo si Yello sebaiknya dioperasi karena kondisi bagian matanya sudah sangat rawan. Seketika gue kaget dan nggak tau mau ngomong apa, yang gue tau bahwa biaya operasi mahal. Gue pun bergegas berangkat ke klinik. Mata Yello sudah diperban, gue berharap cukup mengobatinya. Dia yang masih tertidur akibat diinfus saat diobati agar tidak ngamuk.
Tibalah gue untuk membayar biaya pengobatan, setelah dihitung dan diberikan obat total biaya sampai lima ratus ribu rupiah, dan belum dengan obat yang harus ditebus di apotek. Buset. Tapi nasi sudah menjadi bubur, pengobatan udah dilakukan gue tetep harus bayar. Lagi-lagi dokter merekomendasikan agar Yello bisa segera dioperasi secepatnya, operasi bisa dilakukan di klinik mana saja yang gue kehendaki yang tentunya biayanya paling murah. Tetapi setelah gue tanya berapa kisaran biayanya tetap saja berhenti di angka minimal dua juta rupiah.
Gue menarik nafas untuk berpikir, karena ini berurusan dengan duit, dan duit berurusan dengan perhitungan, gue pun memutuskan untuk pulang ke rumah dan cerita sama bokap nyokap. Tentu saja mereka pun kaget dan kebingungan macem gue. Gue akhirnya berbagi cerita Yello ini ke teman-teman Instagram gue. Banyak sekali yang merespon iba, nanya kenapa bisa begitu, dan lain sebagainya. Di penghujung Instagram story yang gue buat, gue meminta bantuan donasi buat Yello agar bisa dioperasi.
Bodohnya gue, keranjang Yello gue buka, dan sontak Yello kabur dan nggak bisa gue tangkep. Dia keluar rumah gue dan pergi entah ke mana. Di saat yang bersamaan donasi-donasi mulai masuk dari beberapa temen gue. Gue stress, ini kalo Yello nggak balik duit donasi gue gimanain? Akhirnya gue catet semua donasi biar kalo operasi terpaksa gagal karena Yello kabur gue masih bisa balikin secara manual. Situasi semakin parah karena sore itu Bogor hujan deras, gue semakin khawatir si Yello kehujanan atau perbannya kebasahan.
Hari udah malem dan masih gerimis Yello juga belum muncul. Anjir gue kepikiran nggak bisa tenang, mana ini donasi terus nambah, masa iya nggak jadi nih operasi gara-gara kucingnya kabur. Tepat jam 11 nyokap gue teriak dari bawah, “Kakak tuh kucingnya muncul di halaman” gue seketika turun dan langsung nyamperin bawa makanan buat dia. Gue kasih Whiskas basah kesukaannya, tapi apa? Dia nggak mau makan! Dia malah kabur ke bawah mobil, gue pancing keluar juga nggak mempan. Gue tungguin lama…akhirnya dia keluar dan berjalan mengarah keluar pager rumah. “Wait jangan kabur!” gue teriak.
Iya gue ngerti, kucingnya nggak mungkin paham juga sama teriakan gue, tapi ntah ngapa gue teriak aja gitu biar drama wkwk. Selagi belum keluar pager gue bawain aja ayam sisa kemaren, gue samperin kucingnya pake payung lho bayangin karena situasinya beneran hujan, gue suir-suir ayamnya biar dia gampang ngunyahnya, dan alhamdulillah dia mau makan. Naluriah kucing kampung memang sudah mandarah daging. “Apa itu whiskas? Sampah manusia baru aku suka”
Setelah ayamnya abis, bukannya masuk ke rumah gue, dia malah lari keluar. Gue sedikit tenang karena udah gue kasih makan, paling besok pagi dateng lagi ke rumah. Keesokan harinya, Yello nggak dateng, bahkan sampai malem pun dia nggak dateng. Gue cari keliling-kelilimg kompek, gue tanya satpam, emak gue nanya grup wasap RT tetap nggak ada yang liat. Gue udah makin panik aja nih jangan-jangan kucing sekarat.
Gue tungguin sampe besoknya belom juga dateng, jangan-jangan si Yello trauma nih dateng ke rumah gue. Sumpah gue ngerasa kayak ditinggal pacar jalan keluar kota dan nggak bisa gue hubungi. Gelisah nggak menentu. Mau gue whastapp juga gabisa kan, pertama dia kucing kedua gue gapunya nomornya. Sampai pada akhirnya tepat tanggal sepulh juni dimana orang-orang sudah mulai masuk kerja, Yello dateng ke rumah. Kondisi perbannya udah nggak beraturan dan melilit bagian lehernya walaupun nggak kenceng.
Gue siapin keranjang dan makanan untuk memancing dia masuk, dia malah lari ke atas genteng. Tau apa yang gue lakuin? Yap gue pun jadi naik ke atas genteng supaya dia bisa gue tangkep. Yello bukannya ketangkep, gue malah mecahin genteng. Gue nyerah, gue ngerasa mending gue balikin aja tuh duit ke orang-orang daripada gue cape sendiri. Gue masuk kamar gue, maen handphone cukup lama begitu keluar Yello sudah masuk keranjang dengan sendirinya. “Bukannya dari tadi lu kampret, ngerjain orang aja!” gue langsung tutup keranjangnya biar dia nggak lepas dan segera gue bawa ke klinik untuk operasi.
Kebetulan di hari itu dokter bedah khusus hewannya tersedia, setelah diperiksa alangkah kagetnya gue ternyata luka yang membengkak selama ini adalah tumor ganas. Astagfirullah al adzim. Kasihan Yello. Kondisi Yello hari itu sama sekali nggak memungkinkan dia bisa operasi, tumornya menyebabkan dia anemia alias kekurangan darah. Dokter menyarankan agar Yello dirawat inap dulu dan diberikan asupan yang cukup menjelang operasi. Karena jika dipaksakan operasi kemungkinan kecil Yello bisa selamat.
Selama dua hari dia dirawat inap, dipakaikan selang infus, dan diberi obat dan makanan secara teratur oleh dokter-dokter di sana. Selang dua hari, Yello pun dirasa siap untuk operasi. Saat operasi gue nggak bisa nemenin karena ada urusan di tempat lain, dokter hanya mengabari via sms saat operasi dimulai. Yang gue hanya bisa lakukan saat itu hanya berdoa agar operasinya berjalan lancer. Sepulangnya gue dari urusan yang gue kerjakan, gue bergegas ke klinik dan menengok kondisi terbaru dari Yello.
Yello terbaring lemas, dipakaikan selimiut dan kaos kaki dengan kepala diperban. Dokter bilang operasinya berjalan dengan lancar, walaupun sangat sulit sekali mengangkat tumor yang bersarang di kepalanya itu. Gue putuskan untuk melanjutkan rawat inap Yello setidaknya sampai dia benar-benar pulih. Setiap hari dokter mengabari perkembangan Yello dan alhamdulillah perkembangannya signifikan.
Yello sudah bisa dibawa pulang dan istirahat di rumah agar nggak stress. Gue senang mendengar kabar itu. Tandanya Yello masih diberikan kuat oleh yang maha kuat. Apa yang terjadi dengan Yello membuat gue belajar untuk peka terhadap sesama. Mungkin gue selama ini terlalu acuh, dan bersyukur ada Yello, dia membuat gue belajar untuk peduli.
Banyak temen-temen gue yang berterima kasih kepada gue, bilang kalo apa yang gue lakukan adalah tindakan yang mulia dan pantas mendapat balasan di sisi Allah, gue hanya bisa mengucapkan terima kasih dan mengamininya karena itu adalah sebuah doa. Tapi sejujurnya dalem hati gue, seharusnya gue yang berterima-kasih kepada semua teman yang udah bantuin gue nyelametin Yello. Temen-temen yang luar biasa, yang sangat sangat baik, gue hanya kebetulan yang dihampiri aja oleh Yello sebagai perantara kebaikan temen-temen. Izinkan gue juga mendoakan temen-temen yang udah bantu, baik lewat harta, doa, maupun sebaran temen-temen semoga Allah membalas kebaikan temen-temen dengan balasan yang berlipat-lipat. Aamiin.
Comments
Post a Comment